Advertisemen
13) We Nyilik Timo Tiba Di Istana
Setelah
sampai di istana Ale Luwuk, maka bertaburanlah bertih kilat dari atas istana
sebagai tanda penghormatan atas kedatangan Batara Guru Sang Manurung bersama
dengan We Nyilik Timo. Setelah dipersilakan memasuki istana, maka beranjaklah
We Nyilik Timo. Lengannya dipegangkan oleh Batara Guru, seraya menyusuri tangga
kemilau. Mereka berjalan melangkahi ambang pintu, menginjak lantai istana guruh
kemudian masuk ke dalam ruangan kehormatan.
Tampak
bagaikan orang yang menelan madu raut muka Batara Guru pada saat memandang
istrinya. Sudah tidak mau menjauh lagi Manurungnge karena asyiknya bercumbu
rayu. Suasana begitu menyenangkan sehingga tidak teringat lagi Kerajaan Boting
Langi. Sejak bertemu dengan We Nyilik Timo permaisuri kesayangannya, Batara
Guru seakan luluh seketika seluruh penderitaan yang baru dialaminya selama
berminggu-minggu. Kebahagiaan itu telah menghapus segala kenangan buruk di
Bumi.
Sudah
tiga bulan lamanya We Nyilik Timo berada di Bumi dengan perasaan bahagia.
Mereka berdua telah menikmati kebahagiaan rumah tangganya sebagai Raja dan Ratu
titisan Dewa. Ketika dia membuka jendela istana dan memandang turun, dilihatnya
aneka macam buah- buahan yang membuatnya tergiur. Sang Ratu lalu memerintahkan
kepada para pergawal istana manurung untuk memetikkan satu demi satu buah
tersebut. Setelah mendengar perintah Sang Ratu We Nyilik Timo, para pengawal
istana bergegas meninggalkan istana guna mencari aneka macam buah yang diingini
oleh Sang Ratu.
Setelah
selesai makan buah-buahan dan diikuti oleh para penghuni istana, maka kembali
We Nyilik Timo menoleh ke pekarangan istana dan dilihatnya pula burung- burung
sedang asyik meminum air yang sedang bergelembung-gelembung busanya. Dia lalu
memerintahkan lagi kepada pengawal istana supaya mengambilkan air itu untuk
diminum dan diikuti pula oleh sekalian penghuni istana. Suasana istana manurung
sangat meriah sejak kedatangan We Nyilik Timo.
Ketika
matahari sedang berada di atas kepala, mendung tiba-tiba datang, Bumi pun gelap
gulita sehingga tak satu pun yang tampak secara kasat mata. Alam bagaikan
mengamuk yang disertai badai, suara guntur menggemuruh, dan kilatan petir
menyambar ke semua arah. Dalam suasana alam yang.demikian itu, diusunglah turun
Puang Lae-laqjf/ana tinggal di lereng Gunung Latimojong. Diturunkan pula / We
Salareng dan We Appang Langi, bissu yang ditetapkan di Leteng Nriu. Setelah
mendarat Puang Matoa di lereng Gunung Latimojong, barulah gejolak alam reda.
Bumi kembali tenang seperti keadaan sebelumnya di istana manurung. Sudah tidak
datang bulan atau sudah hamil We Saung Nriu dan setelah menjelang tiga purnama
isi perutnya, diadakanlah upacara keselamatan kandungan. Setelah mencapai usia
tujuh bulan kandungannya maka melahirkanlah. Hanya tujuh malam usianya, We
Oddang Nriu sudah meninggal. Dicarikanlah hutan belantara kemudian dibuatkan
makam peristirahatan, tempat bersemayam arwahnya.
Setelah
tiga malam wafatnya We Oddang Nriu, tiba- tiba dicekam kerinduan Batara Guru.
Lalu, pergilah dia mengunjungi makam anaknya. Ketika sampai di pemakaman
anaknya, didapatinya kuburan itu, ditumbuhi padi berjejer yang sudah matang.
Ada yang berwarna merah, kuning, putih, hitam, dan ada pula yang berwarna biru.
Semua lembah yang luas s. ta perbukitan panjang dan gunung yang tinggi, sudah
dipenuhi padi yang menguning.
Advertisemen