Advertisemen
10) Warisan Batara Guru Di Turunkan Ke
Bumi
Sudah
tiga bulan Batara Guru Sang Manurung di Bumi dalam keadaan sengsara menahan
lapar dan dahaga. Tidak satu pun makanan melewati kerongkongannya. Ketika malam
telah larut, nyenyak sekali tidur Batara Guru sehingga tak terasa olehnya petir
sabung-menyabung. Halilintar dan guntur menggelegar, kilat silang-menyilang.
Langit pun mendung. Dalam kekacauan alam seperti itu, Batara Guru tidak
merasakannya dan tetap saja tertidur dengan nyenyak.
Saat
itulah Patotoe menurunkan istana petir keemasan dari Wawo Unruk, bersama dengan
We Saung Nriu, We Lele Ellung, Welong Mpabarek, dan saudara sesusuannya.
Diturunkan pula Inang pengasuh yang ratusan serta ribuan pengawal
seangkatannya. Betapa banyak turunan Langit yang dikirim menjelma menjadi
manusia di Bumi. Semuanya dimaksudkan untuk menemani Batara Guru Sang Manurung
dalam menjalani hidupnya di Bumi.
Bagaikan
diterbangkan oleh guntur negeri di Wawo Unruk, di Uluwongeng. Semua penduduk
diturunkan dari Kerajaan Langit bersama istananya. Selain itu, diturunkan pula
gelanggang kilat Ellung Pareppak tempat Batara Guru bersantai, pohon asam yang
berjejer, dan semua pusaka lengkapnya diturunkan menjelma di Bumi. Bagaikan
bunyi burung nuri kedengaran hiruk-pikuk para pengawal seangkatannya yang
puluhan ribu, bersama dengan Inang pengasuh.
Tidak
henti-hentinya bunyi guntur, petir, dan kilat, maka sampailah berdiri istana
petir keemasan di tengah hutan belantara di Ale Luwuk. Setelah selesai
seluruhnya menjelma pusaka Batara Guru Sang Manurung, barulah padam api Dewata
yang menyala disertai surutnya badai. Seluruh alam di Kerajaan Bumi kembali
hening dan tenang. Saat itu, Batara Guru masih juga dalam tidurnya yang
nyenyak, sekan-akan tidak ada sesyatu yang terjadi malam itu. Juga ia tidak
bermimpi tentang sesuatu yang bakal terjadi pada dirinya saat itu.
Pada
waktu fajar mulai menyingsing esok harinya, bangkitlah Batara Guru dari bambu
betung tempatnya berbaring. Alangkah terkejut dan keheranan saat terlihat
olehnya istana petir keemasan dari Wawo Unruk. Setelah menoleh, juga dilihatnya
gelanggang kilat halilintar tempatnya bersantai. Laksana mega beriring istana
lengkap pendamping hamba Dewata yang diturunkan menjelma menjadi manusia di
Bumi.
Alangkah
senang hati Batara Guru melihat seluruh pusakanya telah diturunkan dari Boting
Langi. Ketika itu, berangkatlah Manurungnge yang didampingi oleh La Oro Kelling
menuju ke perkampungan tempat ia hidup di Ale Luwuk. Hanya sekejap saja,
tibalah Batara Guru Sang Manurung di dekat perkampungan istana manurung. Para
manurung titisan Dewa yang turun dari Langit tiba-tiba mereka melihat
kedatangan Batara Guru yang hanya dikawal oleh La Oro.
Alangkah
sedih perasaan mereka melihat kedatangan Batara Guru seperti itu. Semua anak
Dewata yang baru tiba dari Boting Langi menyaksikan putra Dewata asuhannya
berjalan tanpa mengendarai usungan Dewata dan tidak dinaungi payung petir,
serta tidak diiringi oleh bangsawan tinggi. Seraya menangis, Talaga Unruk dan
Welong Mpabarek memerintahkan agar anak Dewata pergi menjemput Sri Paduka naik
ke istana.
Belum
usai ucapan Welong Mpabarek, rrf&ka bergegaslah sekalian apak Dewata datang
menjemput tuannya. Setelah memasuki pekarangan istana keagungan (Kerajaan
Langit, Batara Guru lalu melangkah menyusur tangga, berpegang pada susuran
kemilau. Bagaikan angir dari langit taburan bertih kemilau dari atas istana
sebagai tanda penghormatan para penghuni istana kepada Batara Guru Sang
Manurung.
Setelah
melihat kedatangan Batara Guru Sang Manurung, berserulah Talaga Unruk dan
Welong Mpabarek menyampaikan ungkapan rasa kasihan dan sayang kepada keagungan
Batara Guru. Para penghuni istana manurung lalu mempersilakan Batara Guru masuk
ke dalam istananya. la lalu melangkah terus hingga sampai di balairung. Batara
Guru melangkahi ambang pintu, menyusuri lantai papan badai kemilau, sedangkan
Talaga Unruk sendiri yang menayangkan lengan anak Dewata asuhannya. Mereka lalu
berjalan sambil diapit oleh oleh para saudara sesusuannya.
Setelah
Batara Guru duduk di balairung, sambil menengadah We Lele Ellung mempersilakan
duduk Tuannya di atas tikar nan permai. Setelah dipersilakan duduk oleh We Lele
Ellung, maka Manurungnge pun pergi duduk di atas tikar nan permai seraya di
kelilingi oleh ayunan kipas petir dari Limpo Bonga. Tidak lama kemudian,
disuguhilah sirih lipatan orang Senrijawa di atas talam kilat. Belum selesai
bersirih, dihidangkan pulalah aneka macam makanan orang Ruallette. Tidak terasa
Batara Guru meneteskan air mata tanda kegembiraan atas pertolongan "tuhan
penentu nasib" ayahandanya. (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang
dipertuhankan, Editor.)
Advertisemen