Advertisemen
11) Batara Guru Bermimpi
Hari
pun telah siang dan Manurungnge mengantuk lagi kecapekan. Dia lalu masuk ke
bilik peraduan untuk beristirahat. Daiam pembaringannya siang itu, berpalinglah
Batara Guru seraya berkata kepada We Saung Riu, "Terasa panjang siang ini.
Mengapa tidak cepat saja malam?" Batara Guru Sang Manurung rupanya gelisah
menunggu saat-saat kedatangan calon istrinya dari Dunia Bawah.
Belum
selesai ucapan Manurungnge, matahari pun bagaikan disentakkan lalu terbenamlah
di ufuk barat. Malam segera tiba. Gelap pulalah di daiam istana manurung. Malam
itu, Batara Guru tertidur nyenyak. Namun, ketika malam telah larut tiba-tiba ia
terjaga dari tidurnya. Berkatalah batara, tentang "Panjang rupanya malam
ini. Mengapa tidak siang saja?" Belum selesai ucapan Manurungnge, hari pun
telah siang, kembali. Suasana hati Batara Guru belum banyak berubah. Hatinya
pun masih diliputi tanda tanya.
Telah
lima bulan purnama Batara Guru Sang Manurung berada di Bumi. Tepat tengah malam
benar, ia bermimpi melihat dirinya naik ke Langit dan singgah mandi di Sungai Limpo
Majang. Kemudian, ia langsung naik ke Ruallette, negeri Dewata, di Kerajaan
Langit. Dalam mimpi itu, ia melihat dirinya sedang duduk di bawah pohon asam
Tanra Tellu di dekat gelanggang petir tempatnya bersantai ketika ia masih
berada di Boting Langi.
Batara
Guru melihat para penjaga ayam hadir semuanya. la langsung membuka kurungan
ayam lalu menangkap Massalissie, dan mengusap-usap Gonratungnge. Setelah itu,
ia kemudian berpaling mengambil Koro yang bersusuh emas bersama Dunrung
Leworeng. Berkatalah kemudian Batara Guru dalam mimpi bahwa ia tidak
perkenankan disabung Massalissie dan Gonratungnge, begitu pula Gellarengnge.
Seraya
menyembah berkatalah para penjaga ayam di Ruallette "Tidak pernah disabung
ayam kesayangan Batara itu. Sri Paduka Patotoe melarangnya karena ia bermaksud
mengirim kepada Tuan di Bumi." Dalam mimpi itu, alangkah senang hati
Batara Guru Sang Manurungnge mendengar ucapan penjaga ayam itu. Perasaan Batara
Guru sangat senang dalam mimpinya pada malam itu, seakan ia hidup kembali di pangkuan
bunda Ratu kesayangannya.
Batara
Guru lalu pergi berdiri di tengah istana dan kebetulan dia melihat kedua orang
tuanya sedang duduk berdampingan. Gembira sekali Mutia Unruk seraya memanggil
Batara Guru. Duduklah di atas tikar permadani.
Sembari
menyembah, Batara Guru pun duduk di antara kedua orang tuanya. Ibunda Ratu
Palinge lalu berpaling melingkarkan lengannya pada leher anak sulungnya seraya
menyirami air mata putra mahkota yang dicintainya. To Palanroe j$un menunduk
seraya menyodorkan sirih kepada putranya lalu berkata, "Besok, pergilah
wahai anakku menjemput kirimanmu di pinggir pantai."
Gembira
nian Batara Guru karena mengira dirinya benar-benar berada di langit. Ketika
dia tersentak dan bangun dari tidurnya, dia kemudian sadar bahwa dirinya berada
di Bumi. Dia bangun dan duduk termenung sambil mencucurkan air mata. Lebih dari
sepetanak nasi lamanya duduk termenung, barulah dia menyuruh menyalakan lampu.
Dalam kesadarannya, ia terus membayangkan peristiwa yang dialami dalam
mimpinya.
Oleh
karena merasa tidak sanggup memendamnya, Batara Guru Sang Manurung lalu
menyampaikan merihat mimpinya kepada We Saung Riu, We Lele Ellung, dan Apung
Talaga. Mimpi yang indah itu pun disampaikannya bahwa ada pesan yang dikirim
oleh "tuhan maha pencipta To Palanroe" (bukan Allah Swt., melainkan
dewa yang dipertuhankan, Editor.) agar ia ke pantai menjemput kirimannya.
Setelah mendengar perkataan Batara Guru, maka serentak mereka berkata,
"Itulah Tuanku, yang disebut mimpi nyata. Biarlah nanti fajar -menyingsing
di ufuk timur baru kita pergi ke pinggir pantai. Kita akan menjemput sesuatu
sesuai dengan pesan Dewata kepadamu yang akan dikirim melalui laut."
Malam
itu, Batara Guru sudah tidak bisa tertidur lagi dan gelisah memikirkan apa
gerangan yang akan terjadi sehubungan dengan mimpi tersebut. Ketika fajar tiba,
serentaklah bangun seluruh penghuni istana kilat nan keemasan. Memerintahlah We
Lele Ellung agar rakyat berkumpul dan mengantar usungan keemasan Batara Guru
Sang Manurung di bawah naungan payung kebesarannya. Disertai dengan gemuruh
bunyi alat upacara adat kebesaran, Batara Guru diarak menuju ke arah pantai
bersama dengan riuhnya bunyi gendang petir manurung. Setelah sampai di sana,
diletakkanlah usungan di pinggir pantai.
Seusai
menoleh ke kiri dan'ke kanan, tidak satu pun yang tampak olehnya. Seekor burung
atau semut pun tidak terlihat. Bahkan, angin dari timur pun eggan berhembus.
Kemudian berkatalah di dalam hati Batara Guru, "Apa gerangan kehendak
"tuhan maha pencipta" To Palanroe (bukan Allah Swt., melainkan dewa
yang dipertuhankan, Editor.) karena jelas sekali tadi malam orang tuaku
mengatakan bahwa besok, datanglah ananda ke pantai menjemput kirimanmu.
Akan
tetapi, ternyata kini tak ada sesuatu pun yang tampak. Karena tidak menyaksikan
sesuatu apa pun juga, maka inginlah Batara Guru kembali ke Ale Luwuk. Dalam
keadaan bimbang, tiba-tiba terlihat oleh La Unga Warn dan La Ulak Balu sedang
bergantungan di tangkai pohon berupa keris emas pusaka dari Kerajaan Langit.
Semua orang terperanjak kaget menyaksikan benda pusaka tersebut.
Juga tampak olehnya
perisai emas dan payung kilat manurung tempat bernaungnya "tuhan maha
pencipta" To Palanroe. (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang
dipertuhankan, Editor.) Setelah menyaksikan keajaiban itu, Batara Guru lalu kembali
duduk di pinggir pantai seraya menenangkan hati dan pikirannya. Tidak lama
kemudian, ia menoleh ke ufuk timur seketika lautan terang-benderang. Tiba-tiba
muncul cahaya bagaikan sinar bara bertebaran di laut nan luas itu. Bertanyalah
Batara Guru kepada We Saung Riu, "Apa sesungguhnya yang terjadi sehingga
sinar membara menerangi samudera."
Advertisemen