Advertisemen
TARI
MAPPADENDANG (PESTA PANEN ADAT BUGIS)
Acara Mappadendang (Pesta Panen
Adat Bugis) Sulawesi-Selatan. Mappadendang atau yang lebih dikenal dengan
sebutan pesta tani pada suku bugis merupakan suatu pesta syukur atas keberhasilannya
dalam menanam padi kepada yang maha kuasa. Mappadendang sendiri merupakan suatu
pesta yang diadaakan dalam rangka besar-besaran. Yakni acara penumbukan gabah
pada lesung dengan tongkat besar sebagai penumbuknya.
Acara mapadendang sendiri juga
memiliki nilai magis yang lain. Disebut juga sebagai pensucian gabah yang dalam
artian masih terikat dengan batangnya dan terhubung dengan tanah menjadi ase
(beras) yang nantinya akan menyatu dengan manusianya. Olehnya perlu dilakukan
pensucian agar lebih berberkah.
Acara semacam ini tidak hanya
sekedar menumbuk saja. Alur ceritanya bahwa para ibu-ibu rumah tangga dekat
rumah akan diundang lalu mulai menumbuk. Dengan nada dan tempo yang teratur,
ibu-ibu tersebut pun kadang menyanyikan beberapa lagu yang masih terkait dengan
apa yang mereka kerjakan. Sedangkan anak-anak mereka bermain disamping atau pun
dibawah rumah.
Acara adat ini dulu umumnya
dilakukan oleh masyarakat-masyarakat di berbagai daerah, begitu selesai mereka
lalu menjemur dibawah terik matahari . kegiatan ini merupakan hal yang sangat
sering dilakukan oleh para petani orang bugis. Dikenal juga Manre ase baru yang
meupakan lanjutan setelah mappadendang.
Mappadendang merupakan upacara
syukuran panen padi dan merupakan adat masyarakat bugis sejak dahulu
kala.Biasanya dilaksanakan setelah panen raya biasanya memasuki musim kemarau
pada malam hari saat bulan purnama. Pesta adat itu diselenggarakan dalam kaitan
panen raya atau memasuki musim kemarau. Pada dasarnya mappadendang berupa bunyi
tumbukan alu ke lesung yang silih berganti sewaktu menumbuk padiKomponen utama
dalam acara ini yaitu 6 perempuan, 3 pria, bilik Baruga, lesung, alu, dan
pakaian tradisional yaitu baju Bodo.
Pesta ini merupakan bentuk
pagelaran seni tradisional bugis makassar karena merupakan sebuah pertunjukan
unik yang menghasilkan bunyian irama teratur atau nada dari kelihaian pemain,
Para perempuan yang beraksi dalam bilik baruga disebut Pakkindona, sedang pria
yang menari dan menabur bagian ujung lesung disebut Pakkambona. Bilik baruga
terbuat dari bambu, serta memiliki pagar yang terbuat dari anyaman bambu yang
disebut Walasoji.
Pakaian yang dikenakan pada saat
Mappadendang, Pada saat acara Mappadendang dimulai penari dan pemain yang akan
tampil biasanya mengenakan pakaian adat yang telah ditentukan :
ü Bagi
wanita diwajibkan untuk memakai baju bodoh
ü Laki-laki
memakai lilit kepala serta berbaju hitam , seluar lutut kemudian melilitkan kain
sarung hitam bercorak
Alat yang digunakan dalam Mappadendang seperti :
ü Lesung
panjangnya berukuran kurang lebih 1,5 meter dan maksimal 3 meter. Lebarnya 50
cm Bentuk
ü lesungnya
mirip perahu kecil (jolloro; Makassar) namun berbentuk persegi panjang.
ü Enam batang
alat penumbuk yang biasanya terbuat dari kayu yang keras atau pun bambu
berukuran setinggi orang dan ada dua jenis alat penumbuk yang berukuran pendek,
kira-kira panjangnya setengah meter.
Tata Cara Mappadendang, Biasanya
Komponen utama dalam MAPPADENDANG terdiri atas enam perempuan, 4 pria, bilik
baruga, lesung, alu, dan pakaian tradisional, baju bodo. Mappadendang mulanya
gadis dan pemuda masyarakat biasa. Para perempuan yang beraksi dalam bilik
baruga disebut pakkindona. Kemudian pria yang menari dan menabur bagian ujung
lesung disebut pakkambona. Bilik baruga terbuat dari bambu, serta memiliki
pagar dari anyaman bambu yang disebut walasoji.
Personil yang bertugas dalam
memainkan seni menumbuk lensung ini atau mappadendang dipimpin oleh dua orang,
masing-masing berada di ulu atau kepala lesung guna mengatur ritme dan tempo
irama dengan menggunakan alat penumbuk yang berukuran pendek tersebut di atas,
biasanya yang menjadi pengatur ritme adalah mereka yang berpengalaman.
Sedangkan menumbuk di badan lesung adalah mereka perempuan atau laki-laki yang
sudah mahir dengan menggunakan bambu atau kayu yang berukuran setinggi badan
orang atau penumbuknya.
Seiring dengan nada yang lahir
dari kepiawaian para penumbuk, biasanya dua orang laki-laki melakukan tari
pakarena. Isi lesung yang ditumbuk berisi dengan gabah atau padi ketan
putih/hitam (ase punu bahasa bugis) yang masih muda dan biasanya kalau musim
panen tidak dijumpai lagi padi muda, maka biasanya padi tua yang diambil
sebagai pengganti, akan tetapi sebelum ditumbuk padi itu terlebidahulu direbus
selama 5 sampai 10 menit atau direndam air mendidih selama 30 menit kemudian
disangrai dengan menggunakan wajan yang terbuat dari tanah liat tanpa
menggunakan minyak dengan memakai api dari hasil pembakaran kayu.
Setelah ditumbuk sampai terpisah
dengan kulitnya (dipeso bahasa makassar) barulah perempuan menampanya (ditapi
bahasa makassar) memakai alat pattapi yang terbuat dari anyaman bambu dan rotan
yang berdiameter seperti tudung saji di bawah sinar rembulan dan cahaya dari
sulo atau lampu penerangan orang makassar yang terbuat dari bambu/obor minyak
tanah.
Kalau hasil tumbukan dari
prosesi mappadendang benar-benar dianggap bersih karena sudah dipisahkan antara
padi dan kulitnya, maka perempuan lainnya menyiapkan kelapa habis diparut dan
gula merah yang sudah diperhalus kemudian dicampur menjadi satu bersama dengan
padi yang telah ditumbuk. maka terbuatlah satu penganan atau racikan kue
tradisional yang dikenal dengan nama laulung.
Tujuan
Mappadendang:
- Menyatakan
rasa syukur kepada Allah
- Menjalin
silaturahmi
- Hiburan
- Biasanya
di jadikan ajang oleh muda mudi untuk mencari pasangan
- Memupuk
rasa kebersamaan
Mappadendang dan kisah
modernisasi pertanian, Tradisi ini sudah berjalan turun temurun. Tiap musim
panen tiba, semua orang melakukan mappadendang. Tapi, sejak tak ada lagi pare
riolo dan katto bokko, ritual panen itu jarang dilakukan. Pare riolo adalah sebutan
padi varietas lama yang tumbuh dengan batang lebih tinggi. Lebih panjang
ketimbang varietas baru yang pernah diperkenalkan pemerintah tahun 1970-an
lewat program intensifikasi pertanian, macam PB-5 dan PB-8 yang berbatang
pendek.
Saat musim panen tiba para warga
biasanya memotong ujung batang padi dengan ani-ani, yang menyerupai sebuah
pisau pemotong berukuran kecil. Biasanya setelah terkumpul lantas padi hasil
panenan itu dirontokkan dengan cara menumbuk dalam sebuah lesung. Suara
benturan antara kayu penumbuk, yang disebut alu, dan lesung ini biasanya
terdengar nyaring. Membentuk irama ketukan yang khas rancak bertalu-talu.
Gerakan dan bunyi tumbukan berirama inilah yang menjadi asal-usul seni
mappadendang. Tradisi ini turun temurun. Sampai akhirnya lambat laun mulai
ditinggalkan setelah pemerintah menggulirkan program intensifikasi pertanian
untuk mendongkrak produktifitas ekonomi nasional.
Ritual semacam mappadendang
sebenarnya bukan hanya dikenal di daerah Kalabbirang. Di sejumlah tempat yang
penduduknya bergantung dari hasil usaha bertani umumnya mengenal ritual
bercocok tanam. Mulai dari turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen
raya. Ada upacara Mappalili sebelum pembajakan tanah. Ada Appatinro pare atau
appabenni ase sebelum bibit padi disemaikan.
Ritual ini juga biasa dilakukan
saat menyimpan bibit padi di possi bolla, sebuah tempat khusus terletak di
pusat rumah yang ditujukan untuk menjaga agar tak satu binatang pun lewat di
atasnya. Lalu ritual itu dirangkai dengan massureq, membaca meong palo
karallae, salah satu epos Lagaligo tentang padi. Dan ketika panen tiba
digelarlah katto bokko, ritual panen raya yang biasanya diiringi dengan kelong
pare. Setelah melalui rangkaian ritual itu barulah dilaksanakan Mapadendang.
Di Sulawesi Selatan dan
sekitarnya ritual ini dikenal dengan Mappadekko, yang berarti adengka ase lolo,
kegiatan menumbuk padi muda. Mappadekko dan Mappadendang konon memang berawal
dari aktifitas ini. Bagi komunitas Pakalu, ritual mappadendang mengingatkan
kita pada kosmologi hidup petani pedesaan sehari-hari. “Padi bukan hanya sumber
kehidupan. Ia juga makhluk manusia. Ia berkorban dan berubah wujud menjadi
padi. Agar manusia memperoleh sesuatu untuk dimakan,” kata Ali yang seolah
ingin menghidupkan kembali mitos Sangiyang Sri, atau Dewi Sri di pedesaan Jawa,
yang diyakini sebagai dewi padi yang sangat dihormati.
Seiring dengan modernisasi
sistem pertanian dan orientasi pada aktifitas peningkatan “income” dan produksi
nasional. Akhirnya ritual-ritual bercocok tanam yang rutin digelar, lambat laun
mulai hilang. Lantaran sistem pertanian pendukung ritual itu semakin
ditinggalkan. Tak ada lagi memanen dengan ani-ani. Tak ada lagi katto bokko.
Tidak pula kelong pare dan mappadendang. Bersamaan dengan itu tiada lagi
penghargaan terhadap sumber kehidupan. Praktek menanam tidak berurusan dengan
anugerah Sangiyang Sri seperti yang diyakini selama ini. Tapi soal bagaimana
produk pertanian dapat mengejar target produksi nasional yang diharapkan para
penyuluh pertanian.
Sebagai bentuk suka cita dan
kesyukuran pada sang Khalik, untuk hasil panen yang melimpah, masyarakat di
Dusun Salomoni, Kelurahan Lipukasi, Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru,
Sulawesi Selatan, menggelar ritual adat Mappadendang. Ritual panenan
mappadendang adalah adat Bugis sejak lama, yang diikuti seluruh petani.
Ritual ini dilakukan bersama
menumbuk padi dalam lesung panjang dengan lubang enam, hingga dua belas yang
disebut Pallungeng, menggunakan alat tumbuk yang oleh suku Bugis disebut alu.
Saat ritual, para pemukul padi menggunakan pakaian khas tradisional bernama
baju bodo. "Dulu, ritual ini dilakukan hampir di seluruh wilayah di
Sulawesi Selatan setiap musim panen raya. Namun sekarang, tradisi ini seakan
ditinggalkan dan hanya beberapa daerah saja yang masih melakukan. Itu pun hanya
segelintir," kata Muhammad Rais, salah seorang petani setempat.
Selain bentuk suka cita, ritual
mappadendang juga dimaksudkan untuk mempertahankan warisan budaya leluhur yang
dikhawatirkan makin ditinggalkan generasi muda. Kepekaan warga Dusun Salomoni
dalam menjaga budaya para leluhurnya, memang masih sangat kental. Ritual
mappadendang, biasanya dilakukan selama tiga malam.
Komponen utama dalam ritual
tersebut mappadendang dimainkan enam perempuan, dan tiga pria, atau secara
berpasang-pasangan, petani saling berhadapan dengan masing-masing alu di
tangan. Diiringi tabuhan rebana, petikan kacapi dan suling bambu khas suku
Bugis, petani mulai memecah biji padi yang telah ditelakkan ke dalam
pallungeng, sambil sesekali memukul badan lesung mengikuti irama rebana.
"Pada saat memecah biji padi itulah, ada nilai kearifan dan bersamaan
yang tercipta. Dalam budaya ini, strata antara pemilik sawah maupun buruhnya,
sama. Petani yang memiliki sawah luas atau hanya sepetak pun, di ritual ini dianggap
tidak ada bedanya," katanya.
"Sangat penting menjaga dan melestarikan seni serta budaya daerah.
Pemerintah Kabupaten Barru akan konsisten menjadikan ritual pesta panen
mappadendang menjadi program budaya tahunan dalam rangka memelihara nilai-nilai
seni budaya. Mappadendang akan kami jadikan kalender even pariwisata Kabupaten
Barru dalam rangka melestarikan nilai-nilai kearifan lokal serta peningkatan
kepariwisataan," tandasnya.
tradisi itu sudah berjalan turun
temurun. Tiap musim panen tiba, semua orang melakukan mappadendang. Tapi, sejak
tak ada lagi pare riolo dan katto bokko, ritual panenan itu jarang dilakukan.”
Oleh masyarakat Salomani,
mapadendang juga diartikan sebagai mappaccappu pammali, atau tolak bala agar
pada saat memasuki musim tanam hingga musim panen berikutnya, petani tetap
mendapatkan kemakmuran dan hasil panen yang melimpah. Bupati Barru Andi Idris
Syukur yang ikut dalam ritual tersebut mengatakan, peran serta seluruh
masyarakat dan pemerintah dalam melestarikan budaya leluhur harus lebih
digalakkan, untuk mengantisipasi pupusnya nilai punahnya budaya oleh budaya
barat yang datang mengepung dari luar.
Ritual semacam mappadendang
sebenarnya bukan hanya dikenal di daerah Kalabbirang. Di sejumlah tempat yang
penduduknya bergantung dari hasil usaha bertani umumnya mengenal ritual
bercocok tanam. Mulai dari turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen
raya. Ada upacara appalili sebelum pembajakan tanah. Ada Appatinro pare atau
appabenni ase sebelum bibit padi disemaikan. Ritual ini juga biasa dilakukan
saat menyimpan bibit padi di possi balla, sebuah tempat khusus terletak di
pusat rumah yang ditujukan untuk menjaga agar tak satu binatang pun lewat di
atasnya.
Lalu ritual itu dirangkai dengan
massureq, membaca meong palo karallae, salah satu epos Lagaligo tentang padi.
Dan ketika panen tiba digelarlah katto bokko, ritual panen raya yang biasanya
diiringi dengan kelong pare. Setelah melalui rangkaian ritual itu barulah
dilaksanakan Mapadendang. Di Makassar dan sekitarnya ritual ini dikenal dengan
appadekko, yang berarti adengka ase lolo, kegiatan menumbuk padi muda.
Appadekko dan Mappadendang konon memang berawal dari aktifitas ini.
Sejak saat itu pare riolo yang
biasa disemai para petani ini mulai jarang ditanam. Dan digantikan dengan
varietas ‘unggul’ padi sawah. Seperti padi Shinta, Dara, Remaja, yang merupakan
produk persilangan yang dikeluarkan Lembaga Pusat Pertanian (LP-3) Bogor. Atau
varietas unggul baru macam IR-5 dan IR-8 yang dikenal dengan PB-5 dan PB-8
yang hasil rekayasa Rice Researce Institute (IRRI). Teknik baru berupa
mesin-mesin traktor juga menggantikan sistem pengolahan tanah yang mengandalkan
tenaga sapi atau kerbau.
Seiring dengan modernisasi
sistem pertanian dan orientasi pada aktifitas peningkatan “income” dan produksi
nasional. Akhirnya ritual-ritual bercocok tanam yang rutin digelar, lambat laun
mulai hilang. Lantaran sistem pertanian pendukung ritual itu semakin
ditinggalkan. Tak ada lagi memanen dengan ani-ani.
Tak ada lagi katto bokko. Tidak
pula kelong pare dan mappadendang. Bersamaan dengan itu tiada lagi penghargaan
terhadap sumber kehidupan. Praktek menanam tidak berurusan dengan anugerah
Sangiyang Sri seperti yang diyakini selama ini. Tapi soal bagaimana produk
pertanian dapat mengejar target produksi nasional yang diharapkan para penyuluh
pertanian.
Kisah modernisasi pertanian
semacam ini juga dituturkan perempuan seniman Mappadendang asal Pakalu.
“Mapadendang itu tradisi menumbuk padi. Dulu merontokkan padi itu dengan
menumbuk. Sekarang sudah pakai mesin giling. Makanya mapadendang pun semakin
jarang dilakukan,“ kata Halima.
Padahal, masih kata Halima,
dalam ritual itulah rasa kebersamaan para petani muncul. Bahkan mappadendang
menjadi tempat pertemuan muda-mudi yang ingin mencari pasangan hidup. Dalam
ritual itu setiap pasangan mulai saling mengenal calon pasangannya,
memperhatikan sikap dan tingkah lakunya. “Berbeda dengan sekarang, pertimbangannya
melulu soal ekonomi,” ujarnya sambil menggelengkan kepala.
Pengaruh modernisasi pertanian
bagi kehidupan kultural masyarakat ini juga dituturkan Ali. Jauh-jauh hari pria
yang lihai ber-mappadendang ini begitu risau sejak masuknya program pembangunan
Dinas Pertanian masa Orde Baru ini. Dalam pandangan Ali, sebagai penjelmaan
dari Sangiyang Sri yang cantik butiran-butiran padi itu juga berhak istirahat
dan menerima pelayanan dari manusia, sebelum ia sendiri melayani kehidupan
kita.
“Kini penghargaan terhadap padi sebagai sumber kehidupan sudah pudar,”
kata Ali sambil mencontohkan appatinro bine, sebuah ritual khusus yang
diperuntukkan buat bibit padi sebelum ditabur di persemaian, yang makin jarang
dilakukan warga desa. “Orang-orang
sekarang hanya berpikir bagaimana bibit itu bisa cepat tumbuh dan cepat panen,”
lanjutnya.
Hal senada juga diutarakan
Mustari. Menurut sesepuh komunitas Pakalu ini, munculnya program padi bibit
unggul, sistem pertanian yang efektif, telah mengubah kepercayaan hidup petani.
“Sekarang orang bertani sekadar menggarap saja,” ujarnya yang mengaku tidak
kuasa menolak program pemerintah waktu itu.
Meski demikian, tidak berarti
program pembangunan pertanian masa pemerintahan Suharto yang berhasil mengubah
kultur masyarakat pedesaan ini tanpa menuai reaksi dan protes. Di Sidrap,
misalnya. Puluhan petani enggan beralih bibit padi baru. Di Kindang yang masuk
wilayah Bulukumba, seorang petani bernama Karaeng Haji menantang seorang
penyuluh pertanian yang mendatanginya. Cerita yang dituturkan Massewali ini
justeru membuktikan hasil panen Karaeng Haji jauh lebih besar ketimbang hasil
panen yang dijanjikan para penyuluh pertanian dari Bimas. Di banyak tempat di
Sulawesi Selatan, khususnya di daerah-daerah pertanian, kasus-kasus serupa tak
sedikit jumlahnya.
Alasannya pun bermacam-macam.
Dikatakan, misalnya varietas bibit baru unggulan itu kenyataannya cuma unggul
sekali panen atau paling banter dua kali panen. Adapun untuk masa tanam
berikutnya mereka harus mengganti bibit dengan cara membeli bibit baru melalui
unit koperasi yang masih dijalankan secara ‘top-dawn’ pula. Tentu saja ini
menyulitkan para petani yang harus bergonta-ganti bibit baru setiap musim
tanam.
Respon yang lain juga
diperlihatkan oleh komunitas Pakalu. Seperti dituturkan Mustari dan Halima,
mereka menerima varietas bibit baru untuk sebagian persawahan mereka. Di pihak
lain mereka juga tidak meninggalkan varietas padi lama yang lebih terbukti
hasilnya. Dengan cara itu selain memperoleh hasil produksi yang melimpah,
mereka pun masih bisa menjalani mappadendang. Ritual yang menjadi bagian dari
penghayatan hidup mereka sehari-hari.
Referensi: http://www.rakyatbugis.com/2014/12/budaya-suku-bugis-mappadendang-pesta.html
Advertisemen