Advertisemen
Pangadereng
sebagai Falsafah Hidup
Sebelum Islam datang ke
Nusantara khususnya di Sulawesi selatan abad ke -17 Masehi
masyarakat bugis sudah memiliki “kepercayaan asli” dan menyebut Tuhan
dengan sebutan “Dewata SeuwaE, yang berarti Tuhan kita yang
satu, pemilik alam dan isinya, Tuhan Yang Maha Esa secara monoteistis yaitu
kepercayaan bahwa Tuhan adalah satu/tunggal dan berkuasa penuh atas segala
sesuatu.
Kepercayaan orang Bugis masa
Pra-Islam seperti di gambarkan dalam Sure’ La Galigo, sejak awal telah
mempunyai suatu kepercayaan Dewa (Tuhan) yang tunggal, seperti
berikut : PatotoE (Dia yang menentukan Nasib), Dewata SeuwaE (Dewa yang tunggal),
To-Palanroe (sang pencipta) dan lain -lain.
Kepercayaan orang Bugis
kepada “Dewata SeuwaE” dan “PatotoE” sampai saat ini masih ada saja
bekas-bekasnya dalam bentuk tradisi dan upacara adat. Kedua kepercayaan asli
tersebut mempunyai konsep tentang alam semesta yang diyakini oleh
masyarakat pendukungnya terdiri atas tiga dunia, yaitu dunia atas
(BOTILANGI), dunia tengah (ALEKAWA) yang didiami manusia, dan dunia bawah
(PARETIWI). Tiap-tiap dunia tersebut mempunyai penghuni masing-masing satu sama
lain saling mempengaruhi dan pengaruh itu berakibat pula terhadap
kelangsungan kehidupan manusia.
Dalam kehidupan masayarakat
Bugis pada awalnya memiliki sejumlah mitos. Seperti dalam Sure’ La Galigo
menjelaskan tentang awal mula dihuninya negeri Bugis, yaitu ketika Batara
Guru dari Boti langi (dunia atas) bertemu di tanah Luwu dengan We Nyelli Timo
dari Buri’liung (dunia bawah), Simpuru’siang di Luwu. Sengngridi di Bone. Petta
Sekkanyili di Soppeng, Puteri Tammalate di Gowa, semuanya adalah Tomanurung
yang membentuk masyarakat Bugis-Makassar .
Dalam sastra Nusantara cukup
banyak jenis sejarah, seperti dalam sastra Jawa, Sunda, Bali, Madura, dan
Lombok. Khusus dari sastra daerah lokal di atas menggunakan kata
babad. Dalam sastra Jawa di samping kata babad digunakan kata lain sebagai kata
awal judulnya, yaitu, sejarah, pustakaraja.
Dalam sastra Sunda, selain
kata babad sebagai kata awal judulnya, juga digunakan kata lain seperti,
sejarah, cerita, pancakaki (pertalian kekerabatan/hubungan genealogis).
Dalam sastra Lombok dikenal ” babad Lombok “, di Madura dengan
judul “Babad Madura”.
Dalam Sastra Bugis jenis
sastra sejarah ini dikenal dengan judul Lontara’. Kemudian lontara’ ini
dibagi dalam beberapa golongan, yaitu Lontara’
Attariolong (sejarah), Lontara’ Ade (adat-istiadat), Lontara’ Ulu Ada (perjanjian),
Lontara’ Allopi-lopiang (pelayaran), Lontara’ Pengoriseng (silsilah),
Lontara’ Pallaoruma (pertanian), dan Lontara’ Belang (nujum) .
I La Galigo merupakan sebuah
cerita tentang sebuah cara hidup, filsafat yang mendasarinya, serta
nilai-nilai dasar yang menjadi tonggak masyarakat Sulawesi
Selatan. Keberadaan masyarakat ini dengan cara hidupnya
diekspresikan dalam tradisi tutur dan tulis yang mereka kembangkan
menjadi sastra lokal.
Dalam periode pendudukan
Belanda abad ke-19, tradisi tutur I La Galigo disatukan untuk
kemudian dituliskan dalam sebuah kumpulan naskah sepanjang 6000 halaman atau 12
jilid. Naskah ini tidak tersentuh dan nyaris dilupakan kehadirannya
karena sejak pembuatannya naskah tersebut tersimpan di perpustakaan di Belanda.
Pada akhir abad ke-20, atas
prakarsa beberapa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah Daerah
Sulawesi Selatan, naskah yang tersimpan di Belanda tersebut, akhirnya dibuka
kembali. Sayangnya baru satu jilid yang berhasil diterjemahkan. Sisanya masih
tetap tersimpan dan tidak terakses oleh masyarakat itu sendiri maupun
masyarakat Indonesia lainnya.
Tertutupnya akses atas naskah tersebut, tidak berarti mematikan tradisi awal tentang cara hidup yang tetap bertumbuh dan melebur menjadi kebudayaan Bugis sebagaimana yang kita kenal saat ini. Filsafat dasar ataupun nilai-nilai yang mengatur pranata hidup masyarakat Sulawesi Selatan tetap mengacu pada kebiasaan lama, sebagaimana yang dinarasikan oleh I La Galigo.
Tertutupnya akses atas naskah tersebut, tidak berarti mematikan tradisi awal tentang cara hidup yang tetap bertumbuh dan melebur menjadi kebudayaan Bugis sebagaimana yang kita kenal saat ini. Filsafat dasar ataupun nilai-nilai yang mengatur pranata hidup masyarakat Sulawesi Selatan tetap mengacu pada kebiasaan lama, sebagaimana yang dinarasikan oleh I La Galigo.
Filsafat hidup secara
fundamental, dipahami sebagai nilai-nilai sosio kultural yang dijadikan oleh
masyarakat pendukungnya sebagai patron dalam melakukan aktivitas keseharian.
Demikian penting dan berharganya nilai normatif ini, sehingga tidak
jarang ia selalu melekat kental pada setiap pendukungnya meski arus
modernitas senantiasa menerpa dan menderanya. Bahkan dalam implementasinya,
menjadi ruh atau spirit untuk menentukan pola pikir dan menstimulasi tindakan
manusia, termasuk dalam memberi motivasi usaha.
Mengenai nilai-nilai
motivatif yang terkandung dalam filsafat hidup, pada dasarnya telah
dikenal oleh manusia sejak masa lampau. Tatkala zaman “ajaib” berlangsung yakni
lima hingga enam ratus tahun sebelum masehi, di seluruh belahan bumi muncul
orang-orang bijak yang mengajari manusia tentang cara hidup.
Tak terkecuali orang Bugis,
dimasa lampau juga telah memiliki sederet nama orang bijak yang banyak
mengajari masyarakat tentang filsafat etika. Hal ini tercermin melalui
catatan sejarah bahwa perikehidupan manusia Bugis sejak dahulu, merupakan
bagian integral dan tidak dapat dipisahkan secara dikotomik
dari pengamalan aplikatif pangaderrang. Dikotomik merupakan suatu konsep
teologis yang menyatakan bahwa diri manusia dapat dibedakan dalam dua aspek,
yakni jiwa yang bersifat rohani dan tubuh yang bersifat jasmani.
Makna Pangadereng dalam
konteks ini adalah keseluruhan norma yang meliputi bagaimana seseorang harus
bertingkah laku terhadap sesama manusia dan terhadap pranata
sosialnya yang membentuk pola tingkah laku serta pandangan
hidup. Demikian melekat-kentalnya nilai pangadereng ini di kalangan orang
Bugis, sehingga dianggap berdosa jika tidak melaksanakannya.
Adapun implementatif
Pangadereng sebagai falsafah hidup orang Bugis, memiliki 4 (empat) asas
sekaligus pilar yakni:
1)
ASAS MAPPASILASAE, yakni memanif estasikan Ade’ bagi
keserasian hidup dalam bersikap dan bertingkah laku
memperlakukan dirinya dalam pangadereng.
2)
ASAS MAPPASISAUE, yakni diwujudkan sebagai
manifestasi ade’ untuk menimpahkan deraan pada tiap
pelanggaran Ade’ yang dinyatakan dalam bicara. Azas ini menyatakan
pedoman legalitas dan represi yang dijalankan dengan konsekuen.
3)
ASAS MAPPASINRUPAE, yakni mengamalkan ade’ bagi kontinuitas
pola-pola terdahulu yang dinyatakan dalam rapang.
4)
ASAS MAPPALLAISENG, yakni manifestasi Ade’ dalam memilih dengan
jelas batas hubungan antara manusia dengan institusi-institusi sosial,
agar terhindar dari masalah dan instabilitas lainnya. Hal ini dinyatakan
dalam wari untuk setiap variasi perilakunya manusia Bugis. Nilai-nilai luhur
yang terkandung dalam filsafat hidup orang Bugis tersebut, menarik
dihubungkan dengan etos kerja orang Bugis di jazirah Selatan pulau Sulawesi.
Advertisemen