Kematianlah Yang Menjadi Pemisah Antara Aku Dan Rabb-ku -->
"membaca dan menulis adalah caraku untuk melupakan segala kecamukan kesedihan didalam hati"

Saat-Saat Menjelang We Nyilik Timo Melahirkan

Advertisemen


18)      Saat-Saat Menjelang We Nyilik Timo Melahirkan

Tujuh purnama sesudah upacara selamatan kandungan We Nyilik Timo, tepat tengah malam We Raja Tompok dibangunkan oleh rasa sakit di perut. Maka bangunlah We Nyilik Timo mencucurkan air matanya meruah. Segera pula bangkit Manurungnge seraya meraih kedua belah lengan istrinya. Batara Guru bertanya kepada We Timo "Mengapa Adinda bangun tak memberitahu suamimu, seperti rasanya orang yang tidak disayangi."

We Timo tidak menjawab sepatah kata pun kepada suaminya. Batara Guru kemudian memerintahkan We Saung Riu, We Lele Ellung . in Apung Talaga untuk memasang lampu dan menyalakan lilin. Batara Guru memberitahukan bahwa sudah gelisah bayi raja sehingga ucapan Manurungnge serentaklah semua bangun penghuni istana menyalakan lampu.

Alangkah sakitnya perut yang muncul di Busa Empong. Bangkit pulalah segera Puang Matoa ri Lae-lae memasang lanrang patola, gelang emas, lailaiseng tempat berpegang Sang Ratu untuk merejan. Manurungnge sendiri memerintahkan memasang walasuji„ bambu emas yang mengelilinginya, tanah tempat menetesnya darah bayi raja.

Dalam keadaan perih We Nyelik Timo bangun berpegang pada laillaiseng, bertumpu pada papan keemasan, bergantung pada lanrang potto namun tak bergeser juga perutnya. "Bahkan, masuk lebih dalam lagi bayi raja di perutnya. Silih berganti Puang Matoa berdiri menggoyangkan tongkat keemasan, tetapi belum juga bergetar perut We Nyilik Tmok.

Dalam keadaan was-was, mendekatlah Batara Guru pada istrinya seraya menyuruh istrinya bangun berpegang pada lanrang patola, bertumpuh pada papan emas. Manurungnge kemudian memberi semangat dan berkata, "Tidak ada duamu wahai adinda menerima upeti persembahan yang banyak di kolong langit di permukaan Bumi."

Berkata lagi Manurungnge, "Lahirlah kemari darah bangsawan! Keluarlah engkau I La Tiulen agar engkau dinaungi payung di Ale Luwuk. Penguasa tunggal di Watang Mparek, memerintah sekolong langit, sepetala Bumi." Tiada bergetar sedikit pun bayi raja, bahkan kembali lagi lebih jauh ke dalam. Bangkitlah kembali We Nyilik Timo seraya berkeras sambil bersandar pada Inang pengasuh, bertelekan pada anak bangsawan seasuhannya. Sri Paduka menggapaikan kedua lengannya pada Inang pengasuh yang memeliharanya seraya mencucurkan air matanya yang meruah. Apung Talaga sendiri yang mengusapkan limpahan air mata paduka adiknya.

Sembari menangis, berkatalah Apung Talaga, "Kasihan engkau wahai Sri Paduka adinda. Semoga tetaplah roh kehiyanganmu. Hiduplah terus adikku We Timo, melahirkan bayi raja Hanya engkaulah sendiri wahai Sri Paduka yang harus berusaha sekuat tenaga."

Tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut We Raja Tompok. Tak ubahnya air mengalir cucuran air matanya. Sudah tujuh hari tujuh malam We Nyilik Timo dicekam sakit, namun belum juga bergerak isi perutnya. Hilang akal semua dukun menyaksikan bayi raja yang tiada juga mau lahir. Sambil menoleh, Manurungnge memerintahkan para penghulu, agar semua daerah takluk datang berkumpul sambil membawa peralatan perangnya. Hanya beberapa saat saja, semua pasukan dan panji perang sudah tiba di depan istana keemasan Manurung.

Ketika itu, perang sudah mulai- berkecamuk. Darah pun mengalir. Lima belas malam lamanya perang berlangsung korban telah berjatuhan dari semua pihak. Saat itu, tepat tengah hari benar, tepat matahari berada di atas kepala, tiba-tiba gelap di Ale Lino. Tak saling mengenal lagi orang banyak. Sabung-menyabung kilat dan petir, silang-menyilang halilintar dan angin ribut beriringan dengan api Dewata. Bersahut-sahutan upacara kerajaan, "Tiba-tiba tegak peiangi di bahagian kaki We Nyilik Timo" Kembali perutnya sakit. Sambil berbaring di pangkuan ibu susu segaharanya dia pun menangis seraya berkata We Raja Tompo, "Matilah daku wahai Inang. Habis nyawaku Apung ri Toja. Tak disaksikan oleh Raja Dewata yang melahirkanku. Tak disak' kan oleh Opu Sang Hiyang orang tuaku. Tidak pula di Todang Toja, kampung halaman tempat aku dibesarkan terbujar jazad diriku."

Alangkah sedih hati Batara Guru mendengar rintihan istri yang amat dicintainya. Berpalinglah dia memegang lengan istrinya. Menangis terisak-isak sembari berkata Manurungnge, "Kasihan engkau wahai adinda We Timo.

Tetaplah di sini jiwa kehiyanganmu Semoga panjang umurmu We Raja Tompok. Harga dirimu didengar To Palanroe." Batara Guru berkata, "Lahirlah engkau bayi raja seorang laki-laki agar engkaulah anak yang mengambil kelewang emas pusaka dari Ruallette. Janganlah engkau menetap merayu-rayu di dalam perut ibumu."

Bangunlah kembali We Nyilik Timo berkuat sambil berpegang pada lanrang potto, menggapai lailaiseng seraya diiringi nazar oleh para Pembesar dari Abang, namun tidak juga berhasil. Tak keruan rasa hatinya Puang ri Lae-lae yang tinggal di Latimojong, ia duduk termenung Puang ri Luwuk dan Puang ri Warek. Berdiri bulu roma para dukun kerajaan sebab tak kunjung lahir bayi raja. Sudah lima belas hari We Timo dalam keadaan sakit  perut. Sedih sekali hati Manurungnge melihat istri. yang amat dicintainya. Menangis Btttara Guru sambil memberi semangat pujian dia pun menyuruh istrinya mengejang. Batara Guru sendiri berdiri mengangkat istrinya, memangku sepupu sekalinya seraya menyandarkan ke dadanya yang lapang. Bagaikan putus tarikan napas We Timo berupaya mengajang, tetapi isi perutnya tidak juga bergerak.

Advertisemen

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
© Copyright 2017 Ishak - All Rights Reserved - Distributed By Artworkdesign - Created By BLAGIOKE Diberdayakan oleh Blogger