Advertisemen
17) We Nyilik Timo Hamil
Ketika
Batara Guru selesai berdialog dengan istrinya, malam pun telah larut
bergandengan tanganlah mereka memasuki bilik peraduannya di balik gemerlapnya
cahaya pelita. dan kandil di bahagian dalam. Alangkah gembira perasaan Batara
Guru Sang Manurung dalam mahligai cinta memuaskan hati berdua di dalam sarung
indah nan kemilau. Mereka berdua bersukaria dengan gaya orang Kerajaan Langit
hingga akhirnya keduanya tertidur nyenyak dalam satu bantal. Batara Guru
bersama istri kini menikmati tidurnya yang panjang tanpa merasa terjadi sesuatu
pada dirinya.
Di
Kerajaan Langit, "tuhan penentu nasib" Patotoe (bukan Allah Swt.,
melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.) telah mengetahui bahwa pada malam
itulah permaisuri Batara Guru telah hamil. "tuhan penentu nasib" (bukan
Allah Swt., melainkan dewa yang dipertuhankan, Editor.) Patotoe berkata kepada
permaisuri Ratu Palinge, "Sebaiknya kita turunkan untuknya bissu sejati ke
Ale Luwuk Kerajaan Bumi, agar dialah nanti yang mempersiapkan upacara
kahiyangan langitnya putra mahkota Batara Guru yang akan lahir kemudian."
tuhan penentu nasib (bukan Allah Swt., melainkan dewa yang dipertuhankan,
Editor.) Patotoe menyampaikan kepada Sri Ratu bahysja telah tinggal darahnya
anak Patotoe menyampaikan pula bahwa permohonan anak dan menantunya dikabulkan
sebab We Nyilik Timo dan suami tiada menentu pikirannya karena belum juga
memperoleh keturunan.
Ketika
fajar menyingsing keesokan harinya, terbangunlah Batara Guru Sang Manurung yang
masih satu sarung dengan istrinya. la kemudian melepas sarung diikuti oleh We
NyiJik Timo. Lalu, ia melangkah untuk membasuh muka di mangkuk putih. Setelah
itu, Batara Guru kemudian menyirih seraya menenangkan hatinya. Tidak lama
kemudian, bangkitlah seraya melangkah keluar bergandengan tangan dengan Sang Permaisuri.
Gemuruh
kedengaran lantai keemasan bunyi hentakan kaki para Biksu serta Dukun Penghuni
Langit yang diturunkan. Bersamaan dengan turunnya penghuni Langit, dinaikkan
pulah para Penghuni Istana Dunia Bawah. Ketika utusan kedua Kerajaan itu tiba
di Bumi, mereka kemudian memasuki Istana Manurung. Seraya menyembah semuanya
langsung duduk di atas peterana keemasan, berdampingan dengan suami-istri.
Sahut-menyahut
guntur yang membahana ke segenap penjuru Bumi. Sabung-menyabung kilat dan
petir. Badai pun menghempas tiada henti diiringi oleh gelap gulita. Bersamaan
dengan itu, menyala pula api Dewata yang disertai oleh angin ribut. Gemetar
badan seluruh orang Luwuk dan orang Warek. Ketika itulah diturunkan We
Sawammegga di daerah Leteng Riu. Setelah mendarat semuanya, barulah matahari
kembali bersinar cerah dan bumi kembali tenang. Batara Guru semakin gelisah
perasaannya memikirkan nasib Ratu Yang Muncul sebab belum jua memiliki
keturunan. Kerajaan Manurung saat itu kembali diliputi rasa ketidakpastian. Seluruh
penghuni istana turut merasakan kesedihan yang diderita oleh Paduka Raja dan
Permaisuri.
Manurungnge
kemudian memerintahkan We Lele Ellung dan We Saung Riu untuk membawa sesembahan
di Latimojong. Juga menyuruh mengundang We Sawammegga dari Leteng Riu, bissu
sejati yang baru saja diturunkan dari langit. Undang pula Puang ri Luwuk dan
Puang ri Warek supaya datang semua berkumpul untuk memohon kepada Dewa agar
saya mendapat putra mahkota. Batara Guru berkata, "Tiada senang hatiku
sebab belum ada putra mahkota yang dilahirkan.joleh Paduka Tuanmu”
Utusan
itu kemudian pergi dan setelah melaksanakan tugasnya, maka dia lalu kembali
membawa bissu sejati, Puang ri Luwuk dan Puang di Warek bersama dengan para
pengikutnya. Mereka lalu datang bersimpuh seraya menyembah di hadapan Batara
Guru dan permaisuri We Nyilik Timo. Setelah beristirahat dan berdialog sejenak,
maka diperintahkanlah We Sawammegga, Puang ri Luwuk, dan Puang di Warek untuk
mempersiapkan upacara adat untuk memohonkan kepada Dewata agar Manurungnge dikaruniai
putra mahkota.
Ramailah
sudah upacara kebangsawanan We Nyilik Timo. Bersahut-sahutan doa keselamatan.
Sudah" mengepul asap dupanya Puang Matoa. Keesokan harinya, ketika baru
saja matahari memancarkan terbit sinarnya terjadilah sabung-menyabung kilat dan
petir. Berkobar- kobar api Dewata manurung beriringan badai dan topan.
Berbaringlah
Puang ri Lae-lae yang tinggal di Latimojong di atas tikar yang indah. Tujuh
hari tujuh malam Puang Matoa tidur terus menjelajahi Boting Langi dan Peretiwi
memohonkannya di Ruallette, m^mintakan di Urik Liu.
Ketika
matahari baru saja terbit, bangunlah Puang ri Lae-lae yang tinggal di
Latimojong, membasuh muka pada mangkuk putih. Puang Matoa kemudian datang sujud
seraya menyembah di hadap an Batara Guru dan permaisuri. Bersamaan dengan itu
bertanyalah Manurungnge dan istri, "Bagaimana gerangan tidurnya Puang
Matoa. Setelah menyembah, lalu berkata yang bermukim di lereng Latimojong,
hamba ke Senrijawa, hamba turun juga ke Peretiwi. Hamba memohonkan Tuanku di
Boting Langi dan di Toddang Toja, memintakan Tuanku mahkota pada Dewata.
Rupanya
sudah dekat masanya, wahai Tuanku, tiada haid Sri Paduka We Nyilik Timo. Dia
akan melahirkan nanti tunas pengganti lelaki, Opu penyabung pembunuh ayam. Dan
dialah wahai Tuanku yang akan ditudungi payung menaklukkan sekolong langit.
Alangkah
senang hati Manurungnge mendengar ucapan Puang Matoa. Serentak Batara Guru dan
permaisuri berkata, "Ambillah olehmu bissu raja sebagai hamba Dewata
masing-masing seratus orang." Hanya tujuh hari setelah Raja bissu datang
mengurut perutnya, sudah tiada haid lagi We Nyilik Timo. Sudah tak enak
perasaannya. We Nyilik Timo sudah ingin memakan buah- buahan yang tidak
terdapat di Ale Luwuk. Batara Guru kemudian memerintahkan para burung untuk
mencarikan buah Sri Paduka.
Tidak
lama setelah itu, berdatanganlah burung dan tamu utuan membawa aneka macam
buah-buahan dan makanan yang diingini We Raja Tompok. Seraya berpaling berkata
Batara Guru, "Bangkitlah ke mari paduka adinda. Kau saksikan air sejuk
yang melimpah." Lalu, ia bangkit We Nyilik Timo, gembira sekali hati Raja
Tompok menyaksikan air sejuk yang melimpah. Setelah itu, dimandikanlah
permaisuri yang muncul di Busa Empong itu kemudian dipasangkan pakadiannya oleh
We Lele Ellung.
Setelah
selesai berpakadian disaksikannya berbagai macam buah dan makanan. Alangkah
senang hati We Nyilik Timo memakan buah tersebut. Ketika usia kandungannya
mencapai lima purnama, ditancapkanlah patok-patok tempat menambatkan kerbau
cemara penyambut bayi raja. Lalu dipanggil pulalah dukun kerajaan agar segera
datang ke istana untuk menyiapkan kelengkapan upacara kebesara^^rmasuri yang
muncul dari Busa Empong. Seteiah selesai dipersiapkan kelengkapan upacara adat
kedewaan pertanda kehiyangan bayi raja, maka dipukullah gendang irama gembira,
menari tak henti-hentinya.
Mendengung
alat musik bunyi tara, menderu bunyi alempang, bersahutan sudra kadidi yang
ribuan dan tettillaguni, anak beccingnya, caleppa keemasan dan mongeng-mongeng
yang ratusan. Ditiuplah suling emas yang ratusan. Dibunyikan pula gamaru emas
yang ribuan, diiringi gong dan disertai tardian Melayu.
Alangkah
ramainya kedengaran upacara kerajaan Opu Sang Hiyang yang muncul dan Raja
Dewata yang diturunkan. Disulutlah bedil pagar negeri gemuruh bagaikan guntur
suara mesiu. Lalu, dibaringkanlah We Nyilik Timo di atas peterana keemasan
dihamburi penyeru semangat jiwa, ditutupi kain sutra biru, berseliwerang kipas
emas besar dari Boting Langi. Berhadapan Puang ri Luwuk dan Puang di Warek
memegang dan mengurut perut yang bertutupkan kain sutra biru.
Puang
Matoa tidak henti-hentinya mengucapkan penyeru semangat membumbung tinggi.
Tiada henti bedil disulut, tak dibiarkan bunyi letusan bedil pagar negeri
sebagai pemberitahuan raja dewa turun ke Bumi. Lengkaplah sudah upacara
keselamatan kandungan, maka bangunlah We Nyilik Timo diperciki air, suci, dan
dimandikan dengan air mayang dari Senrijawa.
Advertisemen