Advertisemen
5) Batara Guru Turun Ke Bumi Dengan
Ayunan Petir
Setelah
melalui persetujuan bersama, maka sampailah pada putusan terakhir bahwa anak
sulungnyalah yang bernama Batara Guru yang pantas diutus turun menjadi penguasa
di Bumi sekaligus menjelma sebagai manusia. Patotoe lalu berpaling bertanya
kepada adindanya, "Siapa gerangan keturunanku yang akan dimunculkan atau
dinaikkan menjeima di Bumi. Menjawab Sinauk Toja dan Guru Risellek, "Anak
sulungku yang bernama We Nyilik Timo yang akan dinaikkan dari Peretiwi."
Setelah
Patotoe dan Guru Risellek menentukan anaknya yang akan dikirim ke Bumi, maka
disusullah kemudian oleh para sepupu sekalinya di langit sama menyebutkan
keturunannya masing-masing yang dipersiapkan turun ke Bumi. Demikian pula
sebaliknya, para pembesar pendamping di Peretiwi juga mempersiapkan turunannya
masing-masing yang akan dikirim ke Bumi. Sambil menangis penuh keharuan, To
Palanroe menyuruh La Toge Langi (Batara Guru) putera kesayangannya masuk ke
kamar mandi dan berlangir lalu bersiap-siap turun ke Bumi. Batara Guru pun
segera masuk ke kamar mandi untuk menyucikan diri.
Ketika
Batara Guru mendengar ucapan Ayahandanya, tak satu pun kata mampu diucapkan,
kecuali termenung sembari merenungi nasibnya. Menghadaplah seraya menyembah
Sangka Batara dan To Tenrioddang, keduanya serentak masuk menemui Batara Guru
sambil menyampaikan, "Ananda disuruh oleh Sri Paduka untuk keluar sebab
matahari sudah tinggi." Setelah mendengar keputusan Paduka Ayahandanya,
maka tiba-tiba air mata kerinduan Batara Guru bercucuran mengenang adik-
adiknya. Setelah melihat suasana yang menyedihkan itu, semua adik-adik La Togek
Langi ikut bersedih seraya menangisi rencana kepergian kakaknya.
Setelah
Batara Guru selesai mandi dengan langir busa pada mangkuk guruh besar
berkuping, dikeringkanlah tubuhnya oleh Talaga Unruk dan Dettia Tanah. Setelah
itu, dipasangkanlah bajunya oleh Welong Mpabarek dengan dikelilingi oleh
pedupaan disertai suara belas kasih. Setelah selesai berpakaian, keluarlah
Batara Guru yang dipersiapkan turun ke Bumi sambil digenggam pergelangannya
oleh adik-adiknya. Batara Guru kemudian diapit oleh pembesar dari Abang Lette
dan diramaikan suara kasih sayang yang menyayat hati dari Leteng Riu. la lalu
berjalan dipandu oleh para Inang pengasuh dari Wawo Unruk dalam suasana penuh
kesedihan.
Pada
saat menjelang keberangkatannya itu, Dettia Unruk dan Sangiang Kapang menyuruh
Batara Guru menghentikan air mata dengan perpisahannya Kerajaan Boting Langi.
Mereka lalu menasihatinya, "Anda harus pasrah! Apa yang bisa diperbuat
kalau memang demikian kehendak Sri Paduka ayahanda." Dettia Unru dan
Sangiang Kapang juga menyampaikan kepada Batara Guru, "Semogalah Sri
Paduka di Peretiwi merasa kasihan sehingga terbukti ucapannya dan benar-benar
anaknya dapat menjelma di Bumi. Dialah yang akan menjadi permaisuri kakanda
nanti di Bumi, yaitu sepupu sekali kita." Mendengar pembicaraan tersebut,
tanpa berkata sepatah kata pun Batara Guru kepada adik-adiknya.
Setelah
dipakaikan semua pakaian kebesarannya, Patotoe kemudian menyampaikan kepada
putra kesayangannya, "Bukanlah saya yang menjadi penentu segalanya.
Sekiranya saya melanggar, maka aku akan hangus disambar petir dan menyala. Jiwa
ragaku pun akan hilang." Patotoe juga menyampaikan, "Kamu nanti akan
menjelma sebagai manusia, sedangkan aku adalah Dewata. Mendengar perkataan
Paduka Ayahandanya, maka semakin
bertambah kesedihan hati Batara Guru memikirkan keputusan orang tuanya.
Setelah
bertitah "tuhan penentu nasib," (bukan Allah Swt., melainkan dewa
yang dipertuhankan, Editor.) maka bangkitlah La Patigana mengangkat bambu
betung yang akan digunakan sebagai tempatnya berbaring Batara Guru. Bambu
betung itulah yang akan dijadikan pesawat Batara Guru turun ke Bumi. Setelah
memerintah Sangka Batara, maka dicabutlah palang guntur penutup pintu batara
dari petir. Seketika itu pulah langit terbelah dua. Dibuka lebar pulalah tujuh
lapis langit dan kemudian tiba-tiba alam menjadi gelap gulita. Suasana saat itu
bergejolak sehingga menimbulkan goncangan alam yang mahadahsyat.
Bersamaan
dengan itu, diturunkan pulalah ayunan kemilau yang dimuati bambu betung tempat
berbaringnya Batara Guru. Tumpangan tersebut selanjutnya diusung oleh guntur
dan disertai oleh angin kencang. Dalam suasana yang memilukan itulah, semua
berangkat beriringan seraya mengelu-elukan tuan penghambaan mereka. Batara Guru
telah pergi. la telah turun menjelma sebagai manusia di Bumi. Baginya Kerajaan
Langit tinggal sebagai kenangan yang menyedihkan.
Baru
setengah langit turun ayunan tali, berpalinglah Manurungnge (Batara Guru) menyingkap
baju biru langitnya. Saat itu, dia menengadah dan dilihatnya samar- samar
Boting Langi. Menunduk lagi ke Bumi dan dilihatnya pula samar-samar. Semakin
terasalah kesedihan hati Manurungnge. Hampir saja terhenti tarikan napasnya
mengingat keadaan di Boting Langi. Diingatnyalah semua saudaranya. la teringat
kepada adik-adik yang amat disayanginya. Mereka telah jauh dari sisinya.
Manurungnge
berkata dalam hati Tenggelam dan hilang rupaku bagi orang-orang yang menyayangi
diriku di Ruallette. Entahlah, apakah nanti aku tenggelam atau mati tanpa
disaksikan oleh kedua orang tua serta saudara- saudaraku." Banyak hal yang
kini menghantui pikiran serta perasaannya. Seakan-akan dirinya pergi tanpa
suatu tujuan yang pasti, juga tanpa ditemani oleh siapa pun juga.
Di
tengah perjalanannya turun ke Bumi, menunduklah Manurungnge sambil menghambur
taletting mperrek. Itulah yang menjelma menjadi wilayah. menggumpal menjadi
gunung, kemudian membentuk perbukitan; serta meluaskan lembah; melebarkan laut;
menoreh sungai; mengatur gelombang laut; dan melebar pulalah tanah. Batara Guru
kembali istirahat di dalam bambu betung pewasat tumpangannya.
Setelah
beristirahat sejenak, ia melempar lagi sirih atakka di sebelah kanannya, tellek
araso di sebelah kirinya. Lalu, tiba-tiba benda itu menjelma menjadi hutan
belantara yang rimbun. Semakin dekatlah Batara Guru ke Bumi. Sambil menunduk,
ia kemudian melontarkan lagi wempong mprti dari Wawo Unruk yang kemudian
menjelma menjadi ular dan binatang yang beraneka macam.
Dalam
waktu tidak terlalu lama, Batara Guru kembali menebarkan bertih kilat dari
Limpo Bonga, beras berwarna dari Leteng Nriu. Tidak lama kemudian, ramailah
suara aneka ragam margasatwa yang memperebutkan tempat bertengger di hutan.
Sejak saat itu, Bumi sudah dalam keadaan terisi berbagai macam tumbuhan serta
burung dan hewan.
Advertisemen