Advertisemen
Hikayat
La Galigo
Epik
ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada
Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah
keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib
dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge’
langi’ menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge’
langi’ kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili’timo’, anak dari Guru ri
Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di
bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama
sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu’, sebuah daerah di Luwu’, sekarang
wilaya Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.
Batara
Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara
Lattu’. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La
Ma’dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware’) dan seorang anak perempuan
bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama.
Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih
mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun
meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan
Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio
yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok,
yaitu We Cudai.
Sawerigading
digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang
dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga
Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau’ dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah),
Sunra Rilau’ dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan
Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut
Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya
selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian,
orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.
Sawerigading
adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga
seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir
dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal
dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi
raja.
Anak
lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta’ adalah yang terakhir di dalam epik itu
yang dinobatkan di Luwu’.
Isi
epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai
Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu.
Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar
boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat
pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan
dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat
bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran
pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah
membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah
selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti
golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah
melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau
sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading
digambarkan sebagai model mereka.
Adapun Beberapa Versi I Lagaligo dipelbagai daerah;
- LaGaligo di Sulawesi Tengah
- LaGaligo di Sulawesi Tenggara
- LaGaligo di Gorontalo
- LaGaligo di Malaysia dan Riau
Advertisemen