Advertisemen
Ketika
Tetesan Dewa Jatuh Cinta
Karena
keinginan Sawerigading untuk menikahi adiknya We’ Tenriabeng, membuat
Sawerigading harus keluar untuk mendapatkan perempuan lain dalam hal ini telah
ditentukan bernama I we’ Cudai yang juga merupakan sepupunya dimana perempuan
ini juga keturunan dewa. I We’ Cudai bertempat di negeri Cina, yang mana harus
di tempuh dengan pelayaran yang jauh. Kisah perjalanan tersebut diwarnai dengan
kisah heroik tokoh Sawerigading dengan memenangkan tujuh kali peperangan dalam
pelayarannya belum lagi ketika sampai di negeri Cina. Sawerigading harus
menaklukkan negeri tersebut untuk mendapatkan cinta I We’ Cudai.
Keberangkatan
Sawerigading penuh dengan rasa kecewa dan ia bersumpah tidak akan menginjakkan
kakinya di tanah Luwu. Ia akhirnya berangkat ke Kerajaan Cina. Dan bersamaan
dengan itu, We Tenriabeng langsung naik ke langit dan menikah dengan Remmang Ri
Langi.
Di
Kerajaan Cina, Sawerigading tidak mudah mendapatkan We Cudai. Ia harus
bertarung dengan tunangan We Cudai, Settiaponga. Sawerigading menaklukkannya
dalam pertempurannya di tengah laut dalam perjalanan menuju Kerajaan Cina.
Akhirnya,
Sawerigading menikahi We Cudai. Dari perkawinannya, melahirkan anak pria
bernama I La Galigo yang bergelar Datunna Kelling. Anak inilah, yang akhirnya
menjadi penerus Kerajaan Luwu. Dan dari masa kejayaan I La Galigo, ia membuat
karya sastra monumentar tentang silsilah keluarganya sendiri. Kisah yang
sebenarnya biasa saja, namun masa yang membedakannya.
Kisah
heroik tokoh Sawerigading dapat disebut cerminan hasrat akan keidealan.
Keidealan yang dimaksudkan adalah tokoh hero sebagai keturunan dewa, kesaktian
supranatural tokoh hero, kemampuan
menaklukkan laut, dan kemenangan tokoh hero dalam menaklukkan kerajaan lain.
Hal ini mungkin, karena di berbagai tempat di bumi muncul dinasti kerajaan yang
cikal bakalnya harus berdarah dewa murni. Sawerigading sebagai tokoh hero
merupakan tetesan Manurung (dewa yang turun ke bumi). Sebagai tetesan manurung,
Sawerigading akhirnya memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh manusia biasa
pada umumnya. Kehadiran sosok ideal Sawerigading, sekali lagi mungkin
dikarenakan representasi kolektif masyarakat bugis terhadap sesuatu yang
dideterminasi oleh kekuatan alam kemudian menjadi wacana sosial yang reflektif.
Wacana sosial tersebut pelan-pelan berkembang di dalam masyarakat dalam bentuk
lisan dan terus dijaga tradisinya. Ketika tradisi lisan tersebut bersentuhan
dengan budaya tulis. Dan pada mulanya budaya tulis banyak berkembang di kerajaan
sehingga hal ini dituliskan dan dijaga untuk sebuah bentuk legitimasi
kekuasaan. Akan tetapi ketika tradisi lisan ini dituliskan dan dibaca,
dewa-dewa di dalam epos I La Galigo pada dasarnya seperti kehidupan manusia,
suatu pantulan kehidupan atau refleksi yang ditulis oleh penyair di
sekelilingnya. Para dewa/Batara Guru ternyata memiliki suatu dunia yang penuh
dinamika, penuh senda gurau, permainan, kesedihan, jatuh cinta, sakit hati dll.
Layaknya seperti manusia biasa. Sumber; aisyukur89.wordpress.com
Advertisemen