Kematianlah Yang Menjadi Pemisah Antara Aku Dan Rabb-ku -->
"membaca dan menulis adalah caraku untuk melupakan segala kecamukan kesedihan didalam hati"

Opening Naskah PCABS

Advertisemen

Perjalanan Cinta Alam Bawah Sadar 

   1. Mira
Hujan deras membuka awal tahun 2020 ini. Mira, wanita yang masih setia merawat penantianya. Sejak pagi tadi matanya masih memandang arah yang sama, jauh dari luar jendela ia masih menatap jalan sunyi, aspal bocor dipenuhi dengan genangan keruh sebagai gambaran rasanya yang tidak kunjung jernih diterpa badai kegelisahan. Sejak remaja, ia menghabiskan waktu bercumbu dengan pilu, menuruti hatinya hingga akalnya luluh dan hanya bisa melihat bayangannya yang semu.
Sore itu, kec. Poleang desa Pallimae II tepatnya didepan Ruko berwarna jingga, sebuah potret rumah sederhana yang masih disengat butiran air hujan, rumah yang masih sangat menjaga ciri khasnya dengan 12 tiang kokoh menopangnya serta atap segitiga yang masih menggambar jelas instrumen budaya pemiliknya. Rumah dengan warna hijau pekat dengan garis-garis putih disetiap sisinya berdiri dengan dua jenis bangunan, didepan ialah rumah panggung dengan satu kamar tidur yang ada samping ruang tamu dan satu lagi kamar tidur yang berada dekat dengan tangga. Tangga inila yang menjadi jalur penyambung antara rumah depan dan rumah belakang karena dibelakang ini sudah bangunan rumah batu yang didalamnya terdapat ruang makan keluarga dimana posisinya tepat pada saat turun dari tangga dan sekitar tujuh langkah didepannya terdapat ruang dapur dan disamping dapur sebelah kanan adalah toilet. Dari samping kiri dapur tersebut juga terdapat pintu keluar. Jadi luas rumah ini sekitaran 9x13 m dimana rumah panggungnya berdiameter sekitar 5x7 m sedangkan bangunan pondasi rumah belakang berdiameter 4x6 m. Rumah yang lumayan nyaman untuk keluarga yang hanya berjumlah tiga orang. Meski demikian dengan tempat yang lumayan nyaman, tetap saja tidak dapat ditemukan keindahan didalamnya.
Diruang tamu dengan yang menghadap kejalan raya, terlihat jelas sosok wanita dikaca jendela dan baju yang ia kenakan berwarna coklat tua menutupi seluruh lengannya.  Wajahnya lesuh, kedua tangannya yang berada diatas meja menopang dagu runcingnya. Helai rambutnya yang indah terurai dipunggungnya laksana air mancur yang terjun dari pegunangan. Sebagian helai rambutnya menutup jidatnya dan beberapa helai terurai disamping pipinya. Gadis yang anggun juga menawan. Tapi sayang, hidupnya tidak semenawan dengan wajahnya. Orang-orang hanya mengenalnya sebagai gadis yang malang. Tidak punya teman dan tidak diizinkan untuk keluar rumah, laksana burung yang dikurung dalam sangkar lalu pintunya telah dibuka namun sayap dan kaki burung tersebut telah dipatahkan.  Meski demikian, raganya masih dibuntuti dengan harapan yang ia bangun setiap hari. Matanya, mata yang hampir tak ada cahaya didalamnya. Bibirnya hanya memilih rapat, mulutnya bungkam, lebih memilih diam ketimbang harus berkata dan menuruti hatinya untuk memendam ketimbang harus memberontak.
Sebenarnya dari sorotan mata yang terlihat dari kaca jendela ada hal besar ia inginkan tapi jika kembali melihat raut wajahnya maka tergambar jelas adanya kebimbangan sehingga ia tidak berani dalam mengungkapnya. Tubuhnya kaku, sesak dipenuhi oleh keraguan. Hatinya penuh dengan kekacauan, ketakutan kian membuntuti dirinya sehingga tanpa ragu wajahnya dipeluk kecemasan.
Sudah beberapa jam ia tetap dengan posisi seperti itu, hampir tidak ada gerakan sama sekali. Tapi tunggu, sesekali dia terlihat seperti berbicara tapi dengan siapa? Ibunya sedang berada didapur dan ayahya sedang berada di bawah rumah. Hanya dia seorang diri disana.
“Serius, iya seperti bercerita,” kata Gufran, berusaha meyakinkan adiknya.
“Ah, pasti ibunya berada disampingnya,” Jawab Taslim yang tetap berpikir positif.
“Perbaiki dulu penglihatanmu,” balas Gufran yang sudah kesal
“Ah, ibunya itu yang dia temani cerita.”
“Astaga ini anak. Coba liat didepannya.” Sambil menggeser Taslim tiga langkah kearah kanan, tangannya juga menunjuk kearah kaca jendela disamping Mira dan kembali mempertegas “Ada orang yang kamu lihat?” Dengan nada yang ketus.
“Iya dih. Tidak ada. Ih,” Taslim mulai heran
Kedua kakak beradik itu semakin penasaran hingga lupa apa yang hendak mereka beli dan hanya sibuk berbisik-bisik didepan roku berwarna jingga itu.
“Kenapa itu dih?” Tanya sang kakak
“Tidak tahu juga. Kan baru diliat seperti itu,” jawab taslim
“Ih, jangan-jangan,” mereka saling bertatapan dengan mata yang melotot
 “He’. Kenapa? Apa yang kamu lakukan disitu?” Tanya Hj. Remma yang keluar dari ruko tersebut.
“Ti- tidakji Aji. Itu kita liat anaknya bapak komandan,” jawab Gufran dengan kalimat yang sedikit terbata-bata
“Oh Mira, iya kesian sekali itu anak. Tiap hari memang seperti itu.”
“Iya, Aji. Barusan kami lihat dia bicara sendiri,” ungkap Taslim
“Memang sudah begitu dari dulu. Kamu berdua yang rajin saja sekolah. Cukup Mira saja seperti itu karena tidak pernah sekolah seperti kalian. Oiya, kamu sudah kelas berapa baso’?”
“Sudah kelas dua MTs aji. Ih jangan panggil saya baso’. Maluka Aji,” Jawab Gufran
“Hahaha, Baso?” Taslim ketawa sambil menunjuk muka Gufran.
“Anak laki-laki yang belum punya nama biasa dipanggil aco’. Kalau anak perempuan yang belum punya nama biasa juga dipanggil becce’. Dulu Gufran, baru diberi nama setelah ia sudah kelas satu SD, jadi sering dipanggil aco’ tapi dipelesetkan menjadi Baso’. Begitu.” Hj. Remma menjelaskan.
Sambil tetap berusaha menahan tawanya, Taslim hanya menggangguk tanda bahwa ia sudah paham.
“Eh, Aji. Kenapakah kakak Mira tidak sekolah?” Tanya Gufran.
“Pernahji dulu sekolah, sudah kelas satu SD tapi berhenti?”
“Ih, kenapa bisa berhenti? Hmm pasti malas kerja PR,” kata Taslim dengan nada yang mengejek.
“Hah tidak, nak. Dulu Mira juga Seperti anak-anak yang lain. Tapi-,” Hj. Remma tiba-tiba menghentikan ceritanya, kepalanya sedikit mendongak keatas dan tatapannya mengarah kelangit
“Aji?, Tapi kenapa?” Tanya Taslim
“Eh. Apa tadi mau kamu beli? Beli cepat saya mau tutup. Sudah hampir magrib. Saya mau kemasjid.” Sambil bergegas mengangkat jemuran pisangnya (mentahan sale pisang) masuk kedalam rumah.
“Aduh, lupa tadi apa yang mau kami beli, Aji. Tapi kenapa tidak lanjutkan cerita tentang kak Mira?” Tanya Gufran yang juga ikut penasaran.
“Sudah magib. Pulang. Nanti kalian dicari. Eh, Jangan lupa shalat di masjid yah?”
Advertisemen

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
© Copyright 2017 Ishak - All Rights Reserved - Distributed By Artworkdesign - Created By BLAGIOKE Diberdayakan oleh Blogger